...
Aku ingat ketika bcah ingusan berumur tujuh tahun mendatangi rumah neneknya
Menghabiskan masa kecil mencipta senandung anak kampung, terinspirasi dari suara Angin dan ombak.
Bernyanyi di bawah rembulan saat bulan sibuk memamerkan cicinnya, menerka di mana kura-kura akan bertelur
Mendengarkan radio tua yang antenanya dipasang di ujung pohon sukun,
Menulis sepucuk surat untuk mama, amplopnya direkatkan dengan buah pohon lem.
Menjemur baterai senter soak,
Mengisi minyak pada pelita,
Mendayung sampan, mengaitkan umpan pada kail,
Merangkai makhota dari bunga liar,
Mengejar capung di padang rumput.
Dia pindah ke rumah ibu ketika berevolusi menjadi anak remaja
Tidak lagi menulis surat untuk mama, yg dikirimi adalah sang nenek.
Saat yang lain ke sekolah menggunakan angkot, dia lebih suka berjalan kaki katanya ingin berkenalan dengan kota itu.
Dia masih mendengarkan radio, kali ini membeli kupon kirim-kirim pesan kepada teman.,
Mengahafalkan lagu-lagu hits 2000an,
Terkagum-kagum dengan adanya internet,
Walau di timur sedikit merangkak dia tetap merasakan perubahan.
Jejak kakinya menuju ke arah barat...
Berhenti sebentar menggali dan menemukan hal baru
Disini dia jatuh cinta terhadap kota nan sederhana. Setiap orang setuju di setiap sudut kota itu ada kenyamanan.
Makan kenyang seharga lima ribu,
Bertemu teman-teman hebat, mengobrol hingga larut,
Menemukan barang-barang unik sepanjang pasar tradisional,
Mengatur langkah pelan sambil menikmati satu cone ice cream,
Terkaget-kaget saat mendapatkan harga murah.
Siapa yang tahu kini nasib membawanya kembali ke timur namun agak melenceng ke utara.
Jika saja ini bukan tentang cara bertahan hidup, aku yakin dia masih seorang bocah berbau matahari dengan jaring penangkap kupu-kupu di bahu.
Komentar
Posting Komentar